Who is “He”??
Bangunan kokoh berdiri tegap di sepanjang pohon-pohon rindang menyapa. Warna hijau, dindingnya tergerai menyamai daun-daun yang tak hentinya menyapa ramah di sekujur angin melambai-lambai. Alangkah harmoninya lingkungan sehat, hidup damai dan suasana menggembirakan. Andaikan tahu, akankah tetap indah??
Di ujung koridor, Marisa tengah bediri memandang lantai dengan pandangan sayu, jauh di ujung lantainya berbagai cerita terurai lamban bermain seiring alur memindai.
“Hmmm…”, Siska menyapa halus telinga Marisa seraya tersenyum ramah melihat ekspresi wajah sahabatnya, Marisa tersenyum miris. Siska merasa kehadirannya tak diharapkan. Menjelang beberapa detik, tiga orang gadis mendekati mereka. Mereka adalah sahabat Marisa dan Siska. Senyum sekerumun sahabat merekah begitu saja. Akhirnya Marisa bangun dari khayal yang tak menentu. Bersamaan Marisa, Siska dan lainnya berjalan kecil melewati beberapa koridor pondok pesantren itu. Sepanjang perjalanan tak hentinya Siska dan yang lainnya bercerita pengalaman-pengalaman lucu setelah melihat beberapa tempat dan benda yang mereka anggap pernah menjadi objek kejadiannya.
Lihatlah…………senyum adalah keramahan, tawa adalah kebahagian, cerita adalah kunci dan keakraban adalah persaudaraan.
Marisa dan Siska pergi menelusuri sepanjang minimarket dekat pondok mereka. Berbagai bahan yang dibutuhkan di pungut satu demi satu, ragu demi keraguan. “Huh…susahnya jadi seorang wanita”, keluh Siska yang memang sangat tomboi. Tak ada respon dari Marisa. Siska melihatnya kesal, tak tangung-tanggung Ia pungut beberapa bungkus makanan dan bahan lain tanpa pertimbangan seperti sebelumnya.
“Perhatikan lirik nada yang kau mainkan”, ucap Marisa. Siska mengernyitkan dahi, tanda tak mengerti apa motif perkataan Marisa.
“Tidakkah kau merasa kaku?”, tambah Marisa. Siska semakin tak mengerti.
Tak ada sepatah katapun bergeming di bibir Siska. Tanpa basa-basi Marisa berjalan pelan mendekati kasir dan membayar segala apapun yang ia ambil, begitu pula Siska. Selama waktu berjalan, kaki melangkah, Siska dan Marisa tertawa kecil memandang hal-hal yang mereka anggap lucu dan menyenangkan.
Ketika mereka tiba di pintu masuk pondok, salah seorang penjaga pintu menghalangi langkah Marisa. Marisa dan lelaki itu saling mencari celah untuk berjalan. Namun, situasi tak mendukung perpisahan pertemuan mereka. Lelaki bertubuh sedang, berkulit sawo matang itu menatap wajahnya. Merasa ada yang janggal, Ia mempersilahkan Marisa dan Siska melanjutkan perjalanan mereka. Sekilas memandang kepergian Siska, lelaki itu tersenyum manis. Andaikan senyum itu mengandung arti.
Sesampainya di kamar, ketiga sahabat Marisa dan Siska bersamaan menyambut kedatangan mereka. Marisa dan Siska hanya menggeleng-geleng kepala tak percaya dengan sikap lapar ketiganya. Marisa menyerahkan beberapa bungkus makanan ringan yang baru dibelinya. Marisa dan Siska terlihat sangat lelah. Merekapun duduk di atas lantai semen bersandar pada dinding hijau retak kamarnya, mencoba melepas kelelahan yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya.
Beberapa menit kemudian, salah seorang datang menghampiri Marisa dan menyerahkan sebuah Handphone di atas kedua tangannya. Tampak senyum Marisa merekah dengan mengungkapkan rasa terima kasihnya. Spontan teman-teman Marisa mendekati Marisa dan mengeluarkan berbagai HP dengan merk yang bagus pula.
Merekapun tak hentinya bertasbih dengan menggunakan elektronik tersebut. Kegiatan terlarang ini mengubah mereka menjadi orang gila. Mengapa tidak?? Setiap sms (Sent Message Service) masuk, mereka selalu tersenyum geli, tertawa terbahak-bahak dan sesekali merasa kesal tak menentu.
Menjelang beberapa hari, Marisa di tengah-tengah kegiatan pondok berlangsung mendapat sebuah sms yang isinya tertuju pada ajakan perkenalan dan tentunya seorang cowok yang bernama Adrian. Awalnya Marisa tak menanggapinya, namun berulang kali sms dengan ucapan yang berbeda-beda terkirim ke nomor Marisa. Ini membuat Marisa menjadi penasaran. Akhirnya Marisa menanggapi sms itu dan semakin hari semakin membuatnya terikat dan sesekali bersikap agresif dalam membalas sms. Suatu hari Marisa mendapat telephone dari cowok itu dan mengajak Marisa bertemu. Dengan berbagai bujukan, Marisa pun menerima tawaran tersebut.
Sepulang sekolah Marisa pergi ke sebuah cafe tanpa izin, bahkan berbohong pada sahabat-sahabatnya. Di cafe itulah Marisa menemui cowok itu. Perasaannya kalut antara senang, takut, cemas, dan resah, pokoknya campur aduk jadi satu. Tepat pukul 16.00 WIB, mereka bertemu. Tak banyak yang mereka perbincangkan, tapi meskipun pertemuan ini singkat. Marisa tetap senang dan rasa kasmaranpun mulai menghinggapi pikiran dan dirinya.
Setiap detik tak hentinya mereka berhubungan, baik melalui sms atau telephone. Siska dan sahabat Marisa merasakan perubahan Marisa yang drastis, dari gadis anti cowok kini menjadi gadis yang liar dan agresif terhadap cowok. Tapi ini tak membuat teman-temannya merasa gundah, malah sebaliknya mnedukung Marisa melanjutkan hubungan itu. Setiap kali Marisa mendapatkan sebuah sms, sahabat-sahabatnya itu tertawa kecil di pojok kamar. Ntah apa yang mereka tertawakan, sms atau sikap Marisa atau malah keduanya.
Tepat pukul 24.00 WIB, ketika suasana pondok yang tenang dan hanya terdengar suara hewan-hewan kecil yang saling bersahut-sahutan. Marisa mendapatakan sebuah sms yang isinya mengarah pada pembicaraan serius, Adrian mengungkapkan rasa sayang dan cintanya pada gadis itu. Marisa sangat energik menanggapi hal ini. Dengan senang hati Marisa menerima pernyataan itu. dan saat itulah Marisa mendapatkan cinta pertamanya.
Setelah Marisa menerima pernyataan cinta Adrian, tiba-tiba Hp Marisa berdering dan terlihat beberapa digit nomor dan konak bernama Adrian di layar Hpnya. Dengan agresif Marisa menekan tombol bergambar telephone berwarna hijau itu.
“Assalamu’alaikum?”, ucap Adrian. Dengan lembut Marisa pun menjawab salam itu. Dan perbincangan itu berlangsung cukup lama. Tak sesekali Adrian melantunkan sebuah lagu romantis untuk Marisa dengan diiringi suara gitar yang mengalun lembut. Marisa Sangat bahagia dan senang dengan itu semua. Serasa dunia hanya milik mereka berdua.
Keadaan Marisa ini membuatnya semakin menggebu-gebu dalam menjalin hubungan prcintaan itu. Namun, selama mereka pacaran tak pernah lagi bertemu ataupun bertatap muka. Meskipun begitu, bagi Marisa ini sudah cukup baginya sebagai anugrah terindah.
Kerap kali Marisa mengajak bertemu, tapi ada saja alasan Adrian untuk menolaknya. Seperti sibuk ujian karena saat itu dia kelas 3 SMA, mengantar orang tuanya pergi, bahkan sesekali dia bilang mengalami kecelakaan dan lain-lain. Marisa tetap setia menanti saat-saat dimana mereka akan bertemu untuk kedua kalinya. Hingga pada suatu hari Marisa tak pernah mendapat sms atau telephone dari Adrian. Pesan yang dikirim Marisa pun kini selalu tak mendapat balasan. Hingga ia mendapat kabar bahwa Adrian akan pindah keluar kota. Hal ini membuat Marisa semakin terpuruk, dirinya merasa terbohongi. Sesekali menatap kosong layar Handphonenya, berharap akan ada pesan dari sang kekasih yang selalu dirindukannya.
Melihat kenyataan ini, Siska dan sahabat lainnya berusaha menghibur, tapi itu sia-sia.” Bagaikan pungguk merindukan bulan”, ocehan lucu tak tersaring di telinga Marisa. Merekapun pasrah.
Siang beriring angin menari dan mendungnya langit biru, semendung hati Marisa yang terkikis habis. Dari ujung jalan tampak sahabat-sahabatnya berjalan pelan menghampiri Marisa yang tengah duduk di taman bunga dekat pekarangan pondok pesantren. Wajah mereka menyimpan sejuta cerita, rahasia dan perasaan. Marisa memandangnya bingung. Dengan hati-hati dan sikap bersalah, salah satu dari sahabatnya duduk di samping Marisa dan mencurahkan beberapa kalimat yang sepertinya telah lama tersimpan dibenaknya.
Rangkaian kalimat-kalimat itu telah menghasilkan sebuah kesimpulan yang sangat mengagetkan bagi Marisa. Karena sebenarnya cowok yang bernama Adrian itu tidaklah nyata. Adrian adalah sahabat Marisa. Siska dan Adrian orang yang sama. Cowok yang di cafe adalah orang suruhan Siska yang sebenarnya mempunyai hubungan khusus dengan Siska. Memang Siska adalah orang yang tomboi, sehingga dia mudah menyamarkan suaranya menjadi seperti seorang lelaki. Mendengar pengakuan Siska, Marisa semakin terpuruk tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan. Antara percaya dan tidak percaya, dia tak tahu kenapa sahabatnya itu sangat tega berbuat seprti itu kepada dirinya. Tapi, itulah kenyataannya. Namun, jauh dalam hati yang paling kecil, Marisa berharap kejadian ini tak terulang lagi. Sehingga dia memiliki sebuah prinsip “sebelum bibit tak pernah muncul, selama itu pula bibit itu tak pernah ada”.
Kini tak ada lagi yang harus dilakukan selain merenungi nasib tak berujung pada kenyataan hidup. Mengingat kejadian demi kejadian membuat Marisa semakin terasa sakit, sakit yang benar-benar sakit. Dan sekarang dia merasa sakit yang tak ada obatnya, selain berfikir untuk kedepannya dan melupakan semua kenangan pahit itu. Alangkah bijaksana bukan jika Marisa menyikapi masalah secara sportif dan positif.
<< The End >>